24 Januari 2009

Potensi Khitosan untuk Coating Ikan Beku

Indonesia mempunyai potensi perairan yang sangat besar. Potensi ini meliputi berbagai hasil perikanan darat dan laut, termasuk juga hasil non-perikanan. Ikan, udang, rajungan, dan rumput laut merupakan hasil perairan yang sering dijadikan komoditas ekspor. Data dari Departemen Kelautan dan Perikanan tahun 2005 menunjukkan terjadinya peningkatan hasil perikanan di Indonesia dari tahun 2001 hingga 2005. Melihat besarnya potensi hasil perairan, terutama perikanan, selayaknya Indonesia menjadi negara penghasil ikan yang besar. Apalagi jika ditambah dengan hasil perikanan yang diambil secara ilegal oleh pihak-pihak yang tidak berwenang.

Kenyataan bahwa besarnya potensi perikanan yang dimiliki Indonesia mendorong tumbuhnya berbagai industri pengolahan hasil perikanan. Industri ini menggunakan hasil perikanan sebagai bahan baku utamanya. Industri seperti pengalengan ikan, pembekuan, dan produk olahan perikanan merupakan jenis industri yang mengalami perkembangan pesat dalam sepuluh tahun terakhir. Perkembangan ini tidak lepas dari dukungan pemerintah terhadap industri pengolahan perikanan di Indonesia (Hutagalung, 2007). Semangat pemerintah ini juga tertuang dalam tujuan program Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK) yang dicanangkan sejak tahun 2005. Salah satu target yang ingin dicapai dari program ini adalah peningkatan daya saing produk perikanan (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2005).

Perusahaan pengolahan hasil perikanan sebagai salah satu pelaku dalam industri perikanan tentu memiliki tujuan yang sejalan dengan tujuan program Revitalisasi Perikanan ini. Perusahaan akan selalu melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan kualitas produk mereka. Apalagi jika produk yang mereka hasilkan berorientasi ekspor, dimana kualitas menjadi poin utama yang harus terus ditingkatkan.

Kesadaran masyarakat, selaku konsumen, atas lingkungan yang berkualitas tidak dapat dipungkiri lagi. Kriteria produk berkualitaspun menjadi bertambah, yakni dengan mengikutsertakan kepedulian terhadap lingkungan. Dengan kata lain, produk yang ramah lingkungan dengan sendirinya akan meningkatkan citra kualitas produk itu sendiri. Dalam Koran Tempo, edisi 10/03/2008, disebutkan bahwa pasar Eropa, Amerika, dan Jepang lebih mengutamakan produk yang mempunyai label ramah lingkungan dari pada yang tidak. Hal ini membawa angin segar bagi keberlangsungan hidup manusia. Di sisi lain, pengikutsertaan kepedulian suatu perusahaan untuk menghasilkan produk yang ramah lingkungan (environmental friendly) terkadang menjadi beban tersendiri karena biaya produksi menjadi bertambah.

Konsep halalan thayyiban pada produk pangan yang dikonsumsi telah menjadi suatu keharusan terutama bagi umat Islam, tetapi tidak menutup kemungkinan bagi umat yang lain. Konsep ini tidak hanya sebatas komposisi bahan makanan yang digunakan dan kesehatan, tetapi juga dapat diperluas ke aspek lain seperti kemasan dan dampaknya terhadap lingkungan. Hal ini disebabkan selama ini kemasan berbahan plastik yang sulit didegradasi lebih banyak digunakan karena harganya murah.
Produk ikan beku berdasarkan definisi dalam SNI 01-4110-1996 adalah ikan segar yang mengalami pencucian, penyiangan atau tanpa penyiangan, dan pembekuan secara cepat hingga suhu pusatnya maksimum -18 °C dengan atau tanpa pengemasan. Meskipun menurut definisi tersebut, produk ikan beku yang dihasilkan tidak harus melalui proses pengemasan, namun pada kenyataannya kebanyakan produk ikan beku dilengkapi kemasan dalam penjualannya. Kemasan di sini dapat mempunyai peran ganda, yakni sebagai pelindung sekaligus penambah daya tarik konsumen terhadap produk. Selain itu, produk yang diproses beku mempunyai keunggulan sifatnya yang mendekati produk segar, terlebih jika dibandingkan dengan produk pangan olahan lain (Hui et al., 2004).

Hal yang menjadi kendala dalam pemrosesan ikan beku adalah potensi terjadinya dehidrasi dan freezeer burn selama pembekuan. Dehidrasi merupakan suatu kondisi hilangnya kandungan air di dalam ikan. Freezer burn dapat terjadi akibat dari dehidrasi. Dehidrasi juga berakibat pada turunnya berat, sifat fisik produk berubah, dan jaringan menjadi kering dan keras (Hui et al, 2004). Pada produk berlemak, dehidrasi yang diikuti dengan terbukanya struktur jaringan dapat mempercepat proses oksidasi.

Khitosan adalah salah satu jenis polisakarida turunan khitin yang mempunyai sifat dapat membentuk film yang kuat, elastis, fleksibel, dan sulit dirobek (Butler et al., 1996). Film yang terbentuk dapat digunakan sebagai bahan kemasan. Jenis kemasan yang banyak dibuat dari khitosan adalah jenis edible film/coating. Sifatnya yang edible (dapat dimakan) merupakan keunggulan khitosan sehingga dapat digolongkan ke dalam bahan kemasan yang ramah lingkungan.

Pemilihan khitosan sebagai bahan edible coating, selain disebabkan karena sifatnya yang dapat dimakan, juga disebabkan sifatnya yang lain. Khitosan merupakan barrier yang baik bagi gas dan uap air karena struktur matriksnya (Susanto, 1998). Bahkan sifat barrier khitosan ini lebih baik dari pada polimer berbasis makhluk hidup (biobased polymer) lainnya (McElhatton and Marshall, 2007). Khitosan juga mempunyai sifat antimikrobial dan biodegradable (Steinbüchel and Rhee, 2005). Harga khitosan dalam pasar international berkisar antara US$10 – 150 per kg, tergantung pada kemurniannya.

No et al. (2007) menyatakan bahwa penggunaan khitosan sebagai bahan pengawet dan edible coating yang efektif untuk mencegah kerusakan kualitas dan memperpanjang umur simpan produk pangan sangatlah potensial. Hal ini didukung oleh Hui et al. (2004) yang menyatakan bahwa penelitian tentang khitosan akan terus berkembang.

Melihat besarnya potensi khitosan dan produk perikanan, terutama ikan beku, di Indonesia, maka sangat menarik untuk melihat pengaruh yang akan terjadi jika kedua bahan tersebut diinteraksikan. Khitosan digunakan sebagai coating dalam penanganan produk ikan beku. Ini hanyalah sebuah usulan alternatif. Alternatif ini tentu tidak hanya dilihat dari aspek keamanan dan ekonomi produk semata (Lang, 1995), tetapi juga pada aspek lingkungan serta kualitas dalam arti yang lebih luas.

Referensi :
1. Lang, G. 1995. Chitosan Derivatives – Preparation and Potential Uses. Dalam Chitin Chitosan. Penerbit University Kebangsaan Malaysia, Bangi.
2. Departemen Kelautan dan Perikanan. 2005. Revitalisasi Perikanan.
3. Hutagalung, S. P. 2007. Peresmian Industri Perikanan Terpadu di Ambon atas Kebuntuan PERMEN 17/20. http://www.dkp.go.id/content.php?c=4135. [25 Des 2007].
4. Hui, Y. H., P. Cornillon, I. G. Lagaretta, Miang H. Lim, K. D. Murrel, Wai-Kit Nip. 2004. Handbook of Frozen Foods. Macell Dekker, New York.
5. Butler, B. L., P. J. Vernago, R. F. Testin, J. M. Bunn, dan J. L. Wiles. 1996. Mechanical and Barier Properties of Edible Chitosan Films as affected by Composition and Storage. Journal of Food Science. Vol 61(5) 953-955p.
6. McElhatton, A. and R. J. Marshall. 2007. Food Safety : A Practical and Case Study Approach. Editor. Springer Science + Bussiness Media. LLC, New York, USA.
7. Steinbüchel, A. and Sang Ki Rhee. 2005. Polysaccharides and Polyamides in the Food Industry. Editor. Wiley-VCH Verlag GmBH & Co. KgaA, Weinheim, Jerman.
8. No, H. K., S. P. Meyers, W. Prinyawiwatkul, and Z. Xu. 2007. Applications of Chitosan for Improvement of Quality and shelf Life of Foods: A Review. Journal of Food Science Vol. 72. No. 5 p87-98.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar